Tuesday 4 October 2016

Aku Bangga Jadi Santri

Suara sirine menggema hingga sudut-sudut ruang kamar. Mencolek setiap gendang telinga yang masih terlelap pulas. Satu, dua, tiga pasang mata terbuka. Lagi, lagi dan lagi.

“Quuumnaa….!!! Get Up….!!![1]

“Hayya ilal masjid!!![2]” Suara-suara mereka terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari biasanya.

“Alamak!! Baru lima jam kedua mata ini terpejam,” keluhku. Masihkah ada sedikit waktu istirahat untuk tubuhku. Ah, percuma. Kata orang ini penjara suci. Seram dengan kata penjara, namun tenteram dengan kata suci. Aku pun masih bingung menafsirkannya.

Aku Hilal. Sudah empat bulan aku tak bercengkrama dengan gadget mahalku, tak menikmati lezatnya pizza macaroni House Cafe, tak berjumpa dengan Clash of Clan untuk menyelesaikan level terakhir dan tak bermain skateboard di taman kota. Karena, sudah empat bulan aku disebut sebagai santri.  Melepas segala hirup pikuk dunia lamaku. Dan mulai menghirup oksigen  dalam dunia pesantren. Seminggu lalu mama menelpon agar selalu sabar menjalani kehidupan baru ini. Sebulan aku sabar, dua bulan tetap sabar, bulan ketiga masih sabar hingga menginjak empat bulan aku sudah mulai lelah. Mana tahan.

Remaja sepertiku mana tahan dengan budaya ngantri. Mandi ngantri, makan ngantri, mencuci pakaian pun ngantri. Kalau makan harus bersama, satu piring besar terbagi menjadi delapan orang. Ah, rasanya malas sekali jika makan berdempetan. Enam hari dalam seminggu aku harus menghapal beberapa kosa kata bahasa Arab dan mengulangnya dihadapan kakak pengurus. Mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aku harus bercengkrama dengan tumpukan kitab-kitab Arab gundul. Aku harus mengaji beberapa lembar al-Qur’an setiap harinya. Peraturan demi peraturan membayangi otakku. Jenuh rasanya. Bahkan aku lebih rindu kucing anggoraku di rumah dibandingkan  keadaan ini. Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi.

Gemuruh suara santri aliyah kelas sepuluh memenuhi ruang kelas saat pak ustadz Rozak datang. Bukan karena kedatangan ustadz Rozak, namun kehadiran sosok yang berada di samping beliau. Adalah KH. Fathuddin. Kyai sohor yang namanya sudah tak asing di telinga santri . Beliau lah pengasuh pondok pesantrenku, pondok pesantren Al-Falah. Beliau masuk ke dalam ruang kelasku bukan hanya sekedar untuk memandang ruang kelas, pengajar dan santri. Kata ustadz Rozak, biasanya beliau mengajak berbincang salah satu santrinya di dalam kelas.

“Muhammad Hilal Syahreza..!” Ustadz Rozak memanggil namaku setelah sekejap menatap daftar absen, itu pertanda kiyai akan mengajakku berbincang kecil. Lantas dengan sigap aku berdiri.

“Yes, i am”, tegasku.

“Assalamualaikum Hilal. Semoga keadaanmu selalu sehat. Bagaimana kesanmu menjadi santri di sini nak?”, tanya kiyai.

“Nothing special”, jawabku.

Senyum kiyai meruah bak delima mekar. Tatapannya sedikit sayu. “Apakah kau betah tinggal di sini nak?”, tanya kiyai kembali.

Alisku menyerngit seakan ada keraguan untuk menjawab pertanyaan kiyai. “I am not sure, Kiyai. Saya bosan dan jenuh, Saya tak terbiasa mengantri jika mau mandi, apalagi makan bersama-sama”, jawabku. Seketika mata  teman-teman sekitar kelas menatapku tajam. Mata uztadz Rozak tak luput dari jangkauanku. Melotot. Tajam.

Beberapa saat kemudian, Kyai Fathuddin kembali bertanya, kini suaranya lebih pelan dan lembut.“Jawab dengan jujur nak. Berapa kali kau melaksanakan shalat selama di sini?”, tanya kyai.

“Lima kali kyai, ditambah dengan shalat tahajud dan duha”, jawabku

“Berapa kali kau mengaji al-Qur’an selama di sini?”, tanya kyai.

“Setiap hari setelah shalat subuh dan magrib kyai”, jawabku lagi.

“Berapa banyak kosa kata yang kau hapalkan selama di sini”, ucap kyai.

“Sudah ada 300 kosakata dalam bahasa Arab dan Inggris, kyai”, ucapku bingung.

“Lalu, berapa teman yang sudah berbagi makanan bersamamu?”, tanya Kyai.

“Hmm, hampir semua teman dalam kamar saya, Kyai”, balasku. Kini senyuman Kyai kembali merayap. Lalu beliau kibaskan sorban melingkari leher panjangnya. Beliau melangkah kecil ke arahku.

“Sebesar tempat pecut di surga nilainya lebih baik dari pada dunia dan seisinya. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim”, bisik kecil kyai kepadaku. “Sekarang kau bandingkan dengan empat bulan lalu sebelum dirimu di sini nak. Semoga Allah merahmatimu”, ucap Kyai lantas pergi dengan salam dan meninggalkan kelas.

Bak dentuman dahsyat menukik hatiku paling dalam. Pikiranku mengajak bernostalgia sejenak dengan hingar bingar duniaku dahulu. Masih teringat bagaimana aku mengabaikan azan shalat seperti lalat yang lalu lalang. Melantunkan lagu-lagu populer masa kini dan meninggalkan al-Qur’an di sudut akhir rak buku. Menikmati kekayaan kedua orang tua dengan tak memperdulikan nasib fakir di belakang sana. Dan di pesantren ini aku menadapatkan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, menjadikan pribadi yang sabar dan saling tolong menolong. Di sini kami tidak diajarkan untuk menjadi pengejar kepentingan uang dan kekuasaan, tapi semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan. Aku, Hilal, bangga menjadi santri.


EmoticonEmoticon